Kamis, 04 November 2010

CALEG : ANTARA POLITIK SIMORE DAN KAPASITAS INDIVIDU


Oleh :
Abdurrahim Thalib



SEMAKIN melorot jauh sikap keteladanan yang dimiliki elit baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang telah ditunjukkan selama ini. Semua seakan termakan dengan sindrom kekuasaan dan budaya pamer sehingga berbagai cara dilakukan untuk bisa mencapainya dan  terus menjalar bak virus penyakit akut yang seakan menjadi trend dan patut ditiru. Menjelang Pemilu 2009, sindrom kekuasaan itu mulai mengemuka.  
Kondisi ini semakin tidak menentu ketika kita sedang mempersiapkan diri menghadapi hajatan besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini lima tahun kedepan yaitu Pemilu 2009 nanti. Berbagai slogan dan opini didesain calon legislatif sebagai bentuk pencitraan diri dan tebar pesona dengan anggaran milyaran rupiah hanya untuk meraih dukungan dan simpati rakyat terus dilakukan. Bukan hanya politisi di pusat yang mempunyai modal mumpuni saja melakukan hal demikin. Ditingkat lokal, para politisi dadakan, nota bene sebagai stempel serba paspasan asal memenuhi kuota pun ikut-ikutan melakukan hal demikian, dengan strategi politik pemasaran, yaitu pemasangan iklan di media massa, penyebaran pamflet, baliho yang dipoles sedemikian rupa berjubel sepanjang jalan dan tempat umum tanpa memperhatikan estetika dan keindahan kota sehingga mempersempit dan mengotori ruang-ruang pablik.
Model kampanye tersebut merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada pemilih. Namun sebaliknya secara tidak sadar pemilih dimanipulasi dengan tampilan slogan dan desain gambar yang serba artifisial tanpa memahami lebih jauh kapasitas pengetahuan, kemampuan dan kapabilitas yang dimiliki oleh calon legislatif tersebut, tentu membuka peluang besar pemilih nantinya terjebak untuk memilih kucing dalam karung, namun harus diakui pula bahwa pemilu merupakan salah satu sarana sosialisasi diri, pemberian peluang dan kesempatan kepada siapa saja menunjukkan eksistensinya dihadapan yang lain.
  Keputusan Mahkamah Konstitusi menganulir nomor urut caleg dalam Pemilu nanti dan menetapkan prinsip suara terbanyak sebagai pemenang adalah suatu keberanian luar biasa dalam upaya pencairan kebekuan kultur politik selama ini dan membuka era baru bagi Pemilu 2009. Keputusan ini memuat sisi positif-negatifnya. Sisi positifnya adalah demi untuk kepentingan demokrasi yang lebih baik kedepan dan sisi negatifnya terutama harus dipikul kader partai yang tidak popular. Sekalipun bekerja secara maksimal, namun yang mendapatkan keberuntungan adalah mereka yang terkenal secara luas.
Persaingan seperti ini menciptakan pendewasaan dalam politik. Gesekan dan ketidakharmonisan dalam tubuh partai pasti akan terjadi, namun efek baiknya untuk kepentingan jangka panjang akan mendidik orang semakin sportif dalam menerima kemenangan dan kekalahan. Sportifitas dalam politik sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah demokrasi yang sehat dan kuat.
Munculnya  wajah-wajah baru menghiasi nomor urut Daftar Calon Tetap (DCT) yang sudah final ikut bertarung dalam Pemilu adalah sebuah fenomena baru dalam ranah perpolitikan kita. Simore (semangat) dan tidak dikatakan “maniso” untuk berpartisipasi langsung dalam hal pengambilan kebijakan lewat jalur legislatif adalah bukan hal baru. Tradisi demikian sudah ada sejak bangsa ini menggelar Pemilu demokratis pertama pada tahun 1955.
Namun pengecualiannya, pemilu sebelumnya yang maju bertarung dikenal secara luas di masyarakat sebagai aktivis partai politik yang konsen terhadap garis perjuangan partai dan memahami persoalan politik walaupun secara otodidak. Konklusi demikian telah tergeser dengan hadirnya banyak partai politik di pentas Pemilu 2009. Keharusan untuk memenuhi ketentuan UU, maka perekrutan kader partai tidak lagi melihat sisi kualitas dan komitmen. Semua orang secara mendadak berkesempatan menjadi pengurus partai (bukan aktivis partai) dengan beragam profesi. Apakah pengangguran, tukang sapu, tukang ojek, dan tetek bengek lainnya ikut terseret masuk kedalam. Yang paham masalah politik berikut teori atau tidak, bukan menjadi ukuran dan tidak terlalu penting untuk diperdebatkan.
Dipilih dan memilih adalah hak setiap warga Negara yang dijamin UU tanpa ada batasan, tanpa intimidasi dan tanpa pemaksaan oleh siapapun. Mencalonkan diri menjadi anggota legislatif patut diberi dukungan dan apresiasi positif sebagai penguatan terhadap agenda reformasi dan tuntutan demokratisasi yang telah digulirkan.
Perlu dicatat, penguatan terhadap tuntutan demokratisasi harus didukung dengan tingkat kedewasaan dan kesadaran masyarakat yang tinggi bahwa pesta demokrasi dalam memilih wakil rakyat bukan hanya bentuk partisipasi dalam  pemberian suara dan sekedar seremonial belaka saat pencoblosan. Tetapi perwujudan dari segala harapan yang disalurkan lewat bilik suara. Esensinya, akumulasi dari semua tuntutan dan harapan masyarakat tersebut mengharuskan setiap caleg  didukung dengan  modal pengetahuan yang memadai, berwawasan luas dan menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kualitas seorang caleg bukan hal sepele yang dapat diukur ketika berkoar-koar saat kampanye seperti penjual obat (fu sou) dipasar rakyat, tetapi teruji nanti setelah terpilih. Regulasi berbagai aturan dan kebijakan bermutu terlahir dari DPRD. DPRD bukan ajang berebut gengsi status sosial lima tahunan yang mentereng, dan bukan tempat berdebat kusir (maku talea) masalah jatah proyek dengan kalkulasi dan konspirasi terselubung untuk memanipulasi amanah rakyat.
 Prasyarat yang dimiliki caleg yang nantinya terpilih sebagai wakil rakyat seharusnya memiliki modal sosial kuat, kualitas pengetahuan memadai, dan secara materi telah mapan. Artinya, legislatif bukan tempat memburu rente ekonomi dan tujuan untuk merubah nasib, tetapi sebagai bentuk aktualisasi diri atas kemampuan yang dimiliki untuk membawa aspirasi orang banyak. Memakai logika sederhana, seorang caleg sebelum terpilih, ditungkunya sudah berasap setiap saat, bukan nantinya sudah terpilih baru berasap.
Lemahnya angka partisipasi anggota legislatif dalam menyuarakan kepentingan rakyat di DPRD bukan rahasia lagi. Keputusan-keputusan penting sering didominasi secara perseorangan atau adanya intervensi dari petinggi eksekutif (rulling class) dan pihak tertentu yang lebih mementingkan kelompoknya atau dirinya sendiri. Barangkali karena target yang ingin dicapai sekedar memenuhi ambisi menjadi anggota DPRD, atau bisa jadi lemahnya sumber daya pengetahuan  sehingga hanya menjadi pelengkap penderita  di legislatif; datang, duduk, diam, dengar, dan duit. Otomatis konsep brilian (brilliant concept) yang ditawarkan saat kampanye menjadi slogan tanpa makna, Konsekuensi logisnya adalah terjadinya penurunan tingkat kepercayaan dan sikap skeptisis masyarakat dalam memilih wakilnya di legislatif.
DPRD bukan “dodia gosimo” yang diwarisi turun temurun, dan bukan tempat mengurus “jojobo”  yang siapa saja bisa nyambi, tetapi wadah untuk mengartikulasikan berbagai kepentingan masyarakat yang memerlukan orang-orang berkualitas, yang mampu melahirkan keputusan bermutu. Saking simore   harus dibarengi dengan komitmen dan rasa tanggung jawab bahwa daerah ini sejak lama terjebak dalam amburadulnya sistem perencanaan pembangunan dan belum terlalu menyentuh langsung terhadap kepentingan serta harapan rakyat. Besarnya sumber daya alam yang tidak didukung dengan sumber daya manusia memadai adalah sebuah ancaman besar dan sebentar nanti menjadi masalah sosial.  
Lewat jalur legislatif, terlahir berbagai kebijakan bermutu dalam membuka peluang dan kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk bisa menikmati distribusi hasil pembangunan. Penyediaan fasilitas pelayanan umum yang murah, layak dan berkualitas seperti sekolah, rumah sakit dan lapangan kerja sehingga  memperkecil angka pengangguran yang setiap saat mulai dari tamatan SD hingga sarjana  berjubel menenteng ijazah kusam dan berjejal antre menunggu giliran menjadi PNS.
Menaruh harapan adalah sesuatu yang serba absurd, Karena beda antara sebelum dan sesudah terpilih. Namun, Pemilu 2009 diharapkan munculnya “secuil” hati nurani,masih ada urat malu, tidak bermental budaya pamer, berlagak selebritis musiman di tengah masyarakat yang terhimpit dengan berbagai kebutuhan sehari-hari yang mencekik, hasil panen makin menurun, yang berujung pada ketidakmampuan menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Akhirnya, pemilu 2009 adalah pertaruhan terhadap masa depan daerah ini dan ajang penjaringan kualitas, kemampuan dan komitmen bukan kepopuleran semata demi terwujudnya harapan untuk mengejar ketertinggalan, keterbelakangan secara bertahap dapat terwujud. Etika dalam berpolitik (santun, sportif) harus dijaga dan dijunjung tinggi demi terciptanya pemilu yang berkualitas. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar